Senin, 31 Mei 2010

Agar Tidak (asal) Menikah Dini

Karya : Redaksi Buletin Asy-syifaa’

Buletin Asy-Syifaa’ edisi 2 tahun 2002

“Aku ini bukan menikah dini loh, dek,” demikian ungkapan yang mengalir dari seorang saudari yang memutuskan untuk menikah ketika beliau masih kuliah. Menurut beliau, seseorang disebut menikah dini adalah jika menikah tanpa kesiapan apapun atau dengan kata lain orang tersebut sebenarnya belum layak untuk menikah.

Ada beberapa parameter yang dapat digunakan sebagai cara untuk menentukan seseorang itu layak menikah atau tidak. Mengutip salah satu hadist Rasulullah: “Wahai para syabab, barangsiapa diantara kalian telah mencapai kemampuan ba’ah maka kawinlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu akan lebih mampu menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan istithoah maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu akan meredakan gejala dan hasrat seksual.”

Berdasarkan hadist diatas, minimal ada tiga kriteria utama yang dapat dijadikan landasan bagi sesorang untuk mengukur dirinya sudah layak untuk menikah atau belum.

Yang pertama adalah syabab. Dalam hadist ini Rasululah saw menggunakan kata syabab yang sering dimaknakan sebagai pemuda. Akan tetapi, siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan syabab? Dalam buku ‘Indahnya Pernikahan Dini’, Ust. Mohammad Fauzil Adhim mengatakan bahwa syabab adalah sesesorang yang telah mencapai masa aqil-baligh (kedewasaan berpikir) dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Masa ini seharusnya telah dialami oleh tiap-tiap orang pada rentang usia sekitar 14-17 tahun. Salah satu tanda yang biasa dipakai sebagai patokan adalah datangnya ihtilam (mimpi basah). Akan tetapi, pada masa sekarang, datangnya ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran. Sehingga generasi yang lahir pada zaman ini banyak yang telah memiliki kematangan seksual tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.

Oleh karena itulah nabiyullah telah menggariskan syarat tambahan bagi seorang syabab untuk menikah yaitu kemampuan istithoah atau kemampuan untuk memenuhi tanggung jawab. Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh seseorang yang telah menikah. Sebagai seorang suami ia harus mampu menjadi imam bagi keluarganya, wajib memberi pakaian kepada istrinya dan juga menyediakan tempat tinggal sesuai dengan kesanggupanya. Sementara sang istri wajib menerima penunaian tanggung jawab suaminya dengan hati yang terbuka, dan tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu di luar kesanggupannya. Harus ada suatu mekanisme saling memahami antara keduanya. Jangan sampai ada kekecewaan apabila kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan yang dimiliki.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah mengenai tanggung jawab dalam hal materi. Tidak boleh dilupakan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara memiliki pekerjaan tetap dengan tetap memiliki pekerjaan. Terkadang masa kuliah bisa menjadi hambatan bagi seseorang untuk memiliki pekerjaan tetap. Tetapi ia masih memiliki penghasilan walaupun pekerjaannya esok bisa jadi berbeda dengan hari ini. Jangan sampai muncul stigma bahwa seseorang berpenghasilan adalah hanya orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Karena banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap masih dapat memiliki penghasilan asalkan ia masih tetap mau berusaha.

Kriteria terakhir adalah kriteria ba’ah atau kriteria mampu melakukan hubungan suami istri menurut definisi yang diberikan ibnu Qayyim Al Jauzi.
Akhirnya, semua orang perlu mempersiapkan diri menghadapi gerbang pernikahan. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari tiga unsure: unsur fikriyah, unsur jasadiyah atau fisik dan unsur ruhiyah. Persiapan seseorang untuk menikah itu ibarat persiapan seseorang yang akan melakukan perjalanan jauh. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan ketiga unsur ini.

Pertama, unsur fikriyah yaitu pengetahuan. Pengetahuan seseorang akan bertambah bilamana ia mau belajar. Buku-buku tentang pernikahan islami sudah banyak diterbitkan, apalagi majalah. Bertanya kepada teman atau saudara yang sudah lebih dahulu menikah juga baik.

Kedua, unsur jasadiyah atau fisik. Allah lebih menyukai muslim yang kuat. Maka jangan sampai mengecewakan pasangan dengan kelemahan fisik kita. Olahraga, menambah pengetahuan tentang jasad, banyak mempelajari tentang pemenuhan gizi seimbang, menjalani pola hidup sehat bisa membantu menjaga kondisi tubuh.
Dan yang terakhir adalah unsur ruhiyah. Manusia diturunkan oleh Allah untuk beribadah. Jadi, seluruh aspek dalam hidup kita harus dalam rangka ibadah, termasuk melaksanakan pernikahan. Jangan sampai pernikahan malah menjadi sebab seseorang mengingkari kebesaran-Nya.

Ada kisah menarik dari cucu Rasululah saw, Al Hasan bin Ali ra. Suatu ketika seorang laki-laki berkata kepada cucu nabi ini, “Saya mempunyai seorang putri. Jika ada yang berniat menikahinya, saya akan nikahkan dia.”
Maka Al hasan berkata,”Nikahkan putrimu dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah SWT. Jika ia menyukai putrimu, ia pasti akan memuliakanya. Dan jika ia sedang marah, ia tidak akan menzalimi putrimu.”
Artinya, jika sesorang memiliki kebersihan ruhiyah dengan ketakwaan kepada-Nya, sikapnya akan tetap terkendali oleh ketakwaan. Kalaupun emosinya memuncak, Insya Allah peringatan Allah dalam kitab suci-Nyua akan meredam gejolak emosi itu.

Wallahu a’lam bisshawab